Laman

Kumpulan Doa seperti: Doa Qunut, Doa Doa Harian, Doa Tahniah , Doa Doa Nabi, Doa Sholat, dan Ayat-Ayat Al-Qur'an serta hadist Shohih

Sejarah Penetapan Syariat Doa Qunut


Sejarah Doa  Qunut - Selama perjalanan dakwah Rasulullah saw., sungguh banyak musibah yang menimpa umat Islam, baik yang bersifat alami maupun karena faktor manusiawi, yaitu sifat hasud yang menimbulkan kezaliman.
Musibah karena faktor manusiawi pernah dialami oleh Rasulullah saw. dan para sahabatnya, terutama pada periode Mekah. Amar bin Yasir, Bilal bin Rabbah, dan sahabat lainnya, bahkan Rasul sendiri pernah diganggu oleh tokoh-tokoh Quraisy ketika salat di Masjidil Haram. Demikian pula ketika hijrah ke Madinah, musibah itu bukan berkurang bahkan terlalu banyak untuk dihitung. Meskipun demikian, pada umumnya musibah-musibah itu disikapi oleh beliau dengan berdoa biasa.


Sejarah Doa  Qunut

Namun ketika terjadi empat musibah besar, Rasulullah saw. menyikapinya secara berbeda. Sikap beliau itu menunjukkan bahwa musibah itu merupakan sesuatu yang “luar biasa” bagi beliau. Adapun musibah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, pada tahun ke-2 hijrah, ketika pribadi-pribadi muslim berada dalam cengkraman kafir karena meninggalkan kemusyrikannya. Mereka mati terbunuh ketika hendak menemui Nabi saw. di Madinah, antara lain al-Walid bin al-Walid bin al-Mughirah, saudaranya Khalid bin al-Walid. Ia termasuk salah seorang di antara 70 orang dari kaum musyrik yang ditawan pada perang Badar. Setelah dibebaskan oleh saudaranya Hisyam dan Khalid, ia masuk Islam. Karena itu, ia dilecehkan dan ditahan oleh kaum musyrik di Mekah. Maka Nabi mendoakan keselamatan bagi dirinya waktu qunut, sebagaimana diterangkan oleh Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي دُبُرِ صَلَاةِ الظُّهْرِ اللَّهُمَّ خَلِّصِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَضَعَفَةَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا – رواه أحمد –“Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah berdoa pada akhir salat dzuhur, ‘Ya, Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayasy bin Abu Rabi’ah, dan kaum muslimin yang lemah, dari kezhaliman orang musyrik, mereka tidak mampu untuk keluar dari mereka’.” H.r. Ahmad

Pada riwayat Al-Bukhari diterangkan secara tegas dengan beberapa redaksi:

كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ …

Beliau bila hendak mendoakan kecelakan atas seseorang atau mendoakan kebaikan bagi seseorang, beliau qunut sesudah ruku (kadang-kadang Abu Huraerah berkata) sesudah mengucapkan sami’allahu liman hamidah, ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid…


قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي الْقُنُوتِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ…

Nabi saw. berdoa waktu qunut, ‘Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam, ya Allah…

كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ …


bila bangkit dari ruku terakhir beliau berdoa, ‘Ya Allah selamatkanlah Ayyasy bin Abu Mu’awiyah…

Doa Nabi diijabah, ia dapat meloloskan diri dari tawanan itu dan bertemu dengan Nabi saw. waktu Umrah al-Qadha. Lalu ia mengirim surat kepada saudaranya Khalid bin al-Walid agar masuk Islam. Melalui wasilah al-Walid inilah Khalid pun tertarik kepada Islam. Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah, al-Walid bermaksud menyusul beliau. Namun sebelum sampai tujuan, ia dibantai oleh kaum kafir. (lihat,Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, Juz VI, h. 590; Al-Isti’ab, IV:118-119)

Kedua, pada tahun ke-3 hijiriah ketika kaum Quraisy ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin dan tokoh mereka yang tewas pada perang badar. Kekuatan Quraisy yang berjumlah 3000 orang dengan motif balas dendam, menyerang kaum muslimin yang berjumlah 600 orang yang motifnya mempertahankan akidah, iman, dan agama Allah. Pada pertempuran ini, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan muslimin jatuh berguguran. Bahkan Rasul sendiri mengalami luka yang cukup serius, dengan wajah dan bibir pecah-pecah, serta dua buah gigi serinya tanggal. Nabi Muhamad berhasil lolos dari maut. Dengan segelintir sahabat yang masih hidup, beliau mendaki gunung Uhud, dan dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh. Menurut Ibnu Jarir, sambil mengusap darah yang bercucuran pada wajahnya, beliau mengatakan, “Mengapa berjaya kaum yang mewarnai wajah nabi mereka dengan darah, padahal ia menyeru mereka kepada Allah” (Al-Kamil fit Tarikh, II:155) Sedangkan dalam riwayat Muslim diterangkan.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ ) - رواه مسلم -

“Sesungguhnya Rasulullah saw. pecah giginya pada perang Uhud dan luka di kepalanya, …dan beliau berkata, ‘Mengapa berjaya kaum yang melukai Nabi mereka dan memecahkan giginya, padahal ia menyeru mereka kepada Allah, maka Allah menurunkan (ayat) laisa laka minal amri syaiun.”

Ayat laisa laka minal amri syaiun (Q.s. Ali Imran:128) diturunkan pada tahun ke-3 hijriah. Adapun maksud ayat tersebut, Allah swt. menerangkan taqsim atau tanwi’ dengan menggunakan kata-kata au, yakni menerangkan golongan kafir yang menerima bermacam-macam nasib. Allah menakdirkan terjadinya peperangan, antara lain perang Uhud, yaitu Allah hendak membagi manusia kafir menjadi beberapa macam, ada sebagian yang musnah binasa, dan ada golongan yang lemah rendah, ada golongan yang diberi tobat, dan ada golongan yang disiksa, dan dalam ketentuan tersebut semuanya ada pada kekuasaan Allah, tidak ada sedikitpun wewenang dan kekuasaan pada kamu (wahai Muhamad) (Istifta, K.H.E. Abdurrahman)

Adapun sikap Rasulullah saw. dalam menghadapi peristiwa ini dapat kita lihat dari penjelasan para sahabat, antara lain Ibnu Umar:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيرَةِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ) – رواه البخاري –

“Sesungguhnya Nabi saw. pada salat shubuh ketika bangkit dari ruku mengucapkan allahumma rabbana walakal hamdu, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, laknatlah si Pola dan si Polan, maka Allah menurunkan (ayat) laisa laka minal amri…” H.r. Al-Bukhari

Sedangkan orang-orang yang didoakan oleh Nabi, dijelaskan pada riwayat Ahmad sebagai berikut:


اللَّهُمَّ الْعَنِ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ الْعَنْ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو اللَّهُمَّ الْعَنْ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ قَالَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ (لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ) قَالَ فَتِيبَ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ – أحمد –

“Ya Allah laknatlah al-Harits bin Hisyam, ya Allah laknatlah Suhail bin Amr, ya Allah laknatlah Shafwan bin Umayyah (Ibnu Umar berkata) maka turun ayat ini laisa laka…(Ibnu Umar berkata) Lalu tobat mereka diterima” H.r. Ahmad

Ketiga, Rombongan ‘Adhl dan al-Qarah, kaum kafir dari kabilah Banu Lihyan, memohon kepada Rasulullah agar mengirimkan para muballigh. Tapi ternyata mereka berkhianat, 8 orang di antara utusan Rasul yang dipimpin Ashim bin Tsabit (kakek Ashim bin Umar bin Khatab) itu dibunuh dengan cara yang kejam, di pangkalan air milik Hudzail di daerah yang disebut ar-Raji’ (sekitar Hijaz), sedangkan 2 orang ditangkap dan ditawan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Kedua orang tersebut ialah Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin ad-Datsinah. Dalam keadaan terkepung dan sebelum dibunuh, Ashim berdoa:

أَللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ

“Ya Allah, kabarkanlah kepada nabi-Mu tentang kami” .

Peristiwa itu terkenal dengan nama ar-Raji’ (Lihat, Fathul Bari, VII:130-131; Tarikh at-Thabari, II:77; As-Sirah an-Nabawiyyah libni Hisyam, IV:123;)

Keempat, rombongan Ri’lin dan Dzakwan, kaum kafir dari kabilah Banu Sulaim, mengundang mubaligh-mubaligh Islam, dan berjanji akan menjamin keamanannya. Tapi ternyata mereka berkhianat, membunuh secara biadab 70 orang al-qurra. Al-Qurra adalah mereka yang pada siang hari giat mencari rezeki dengan jalan yang halal, kemudian hasilnya dipergunakan memenuhi keperluan maka para ahli Suffah. Para Ahlu Suffah adalah para pelajar yang menetap di serambi mesjid Rasulullah saw. Al-Qurra itu sendiri pada malam harinya turut juga belajar kepada Rasulullah saw., pada setiap malam mereka giat mendirikan salat dan membaca Alquran. Peristiwa itu terkenal dengan nama Bi’ru Ma’unah. (lihat, Fathul Bari, VII:139, Zadul Ma’ad, III:214)

Kedua peristiwa di atas terjadi pada bulan dan tahun yang sama, yaitu bulan Shafar tahun ke-4 hijriah. Karena berdekatannya peristiwa tersebut, oleh Imam Al-Bukhari keduanya dijadikan judul secara bergandengan dalam kitab al-Maghazi. (lihat, Fathul Bari, VII:130)

Rasulullah saw. sangat terpukul setelah mendengar berita peristiwa tersebut. Anas bin Malik mengatakan:

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ – رواه البخاري –

“Sesungguhnya Nabi saw. berqunut sebulan lamanya ketika al-qurra dibunuh, dan saya tidak pernah melihat beliau berduka cita yang lebih mendalam dari itu” H.r. Al-Bukhari

Adapun sikap beliau terhadap peristiwa tersebut dapat dilihat pada keterangan-keterangan sebagai berikut: Ibnu Abas mengatakan:

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

Rasulullah saw. pernah berqunut selama sebulan berturu-turut diwaktu dluhur, ashar,maghrib, isya dan shubuh diakhir tiap-tiap salat sesudah beliau membaca samiallahu liman hamidah dari rakaat yang terakhir. Beliau mendoakan kecelakaan atas mereka kabilah-kabilah Bani Sulaim, yaitu bani Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah, dan makmum yang ada di belakang mengaminkan beliau. H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud II:68; Ahmad, Musnad Ahmad I:301; Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Khuzaimah I:313; Al Hakim, Al Mustadrak I: 348; Al Baihaqi, As Sunanul Qubra II:200.

Anas mengatakan:

قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لِحْيَانَ – رواه البخاري –

“Beliau qunut sebulan lamanya pada salat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah-kabilah Arab, yaitu Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan Banu Lihyan.” H.r. Al-Bukhari

Al-Qasthalani berkata, “Dari doa ini akan disangka bahwa Banu Lihyan termasuk kaum yang membunuh al-Qura di Bi’ru Ma’unah. Padahal tidak demikian, karena yang membunuh al-Qura hanya Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan sahabat mereka dari kaum Banu Sulaim, sedangkan Banu Lihyan adalah yang membunuh utusan ar-Raji’. Dan berita kematian mereka (peristiwa Bi’ru Ma’unah dan ar-Raji’) sampai kepada Nabi pada waktu yang sama, lalu beliau menduakan para sahabatnya yang terbunuh di dua tempat dengan du’a yang sama” Lihat, Bulughul Amani, juz. III, hal. 297

Ibnu Hajar mengatakan, “Dalil yang menunjukkan berdekatannya kedua peristiwa tersebut adalah hadis Anas bahwa Nabi menyatukan (penyebutan) antara Banu Lihyan dan Banu Ushayyah serta yang lainnya pada doa beliau” Fathul Bari, VIII:132

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa keempat musibah di atas disikapi oleh Nabi saw. dengan sikap yang istimewa, berdoa secara khusus dan dengan amaliah yang khusus, yaitu setelah bangkit dari ruku pada rakaat terakhir di salat wajib. Amaliah ini oleh para sahabat diistilahkan dengan qunut.

Qunut dilakukan oleh Nabi saw. dengan memperhatikan kualitas orang yang terkena musibah itu, bukan kuantitasnya, bukan karena dahsyatnya peristiwa yang terjadi, melainkan karena hilangnya sokoguru kehidupan Islam untuk masa depan. Wafatnya kader-kader terbaik yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir batin. Kaum muslimin kehilangan “tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci, kehilangan “putera-putera” Islam yang layak menempati kedudukan mulia. Bagaimanakah kehidupan masyarakat akan terselenggara dengan baik bila orang-orang seperti tidak muncul kembali ? Dengan wafatnya mereka maka hakikat Islam akan hilang dari muka Bumi.

Dengan demikian, tidak setiap musibah yang menimpa kaum muslimin layak disikapi dengan qunut, justru banyak peristiwa yang terjadi yang harus disikapi dengan introspeksi dan mencari solusi, bukan dengan qunut.

Dari keterangan-keterangan di atas, kami berkesimpulan bahwa Qunut dilakukan ketika terjadi musibah besar bagi Islam, yaitu terbunuhnya orang-orang yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. sokoguru kehidupan Islam untuk masa depan.

2. kader-kader terbaik yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir batin

3. “tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci.

4. Putera-putera Islam yang layak menempati kedudukan mulia

Qunut Tiap Shubuh

Masalah qunut khusus pada salat shubuh merupakan masalah lama yang telah diperbincangkan oleh para ulama, ustadz, dan orang-orang awam. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu sunnah, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu bagian dari shalat, apabila tidak diker-jakan, maka shalatnya tidak sempurna, bahkan mereka katakan harus sujud sahwi. Ada pula yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu tidak boleh dikerjakan, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu bid’ah.

Pendapat Ulama Yang Menyunnahkannya

Sebagian orang ada yang mengatakan: “Madzhab kami berpendapat sunnah berqunut pada shalat Shubuh, baik ada nazilah ataupun tidak ada nazilah.”

Apabila kita perhatikan kita dapat mengetahui bahwa yang melatarbelakangi pendapat mereka adalah ‘anggapan’ mereka tentang ke-shahih-an hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus. Akan tetapi setelah dianalisa hemat kami semua hadis tersebut ternyata dha’if (lemah). Penjelasan kedaifannya dapat dibaca pada pembahasan selanjutnya.

Kemungkinan besar, ulama yang menyunahkannya belum mengetahui tentang kelemahan hadis-hadis itu. Bila kita bandingkan dengan pernyataan para ulama sebagai berikut:

1. Imam Ibnul Mubarak berpendapat tidak ada qunut pada salat Shubuh.

2. Imam Abu Hanifah berkata: “Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.” Lihat,Subul as-Salam, I:378.

3. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i (wafat th. 532 H), beliau tidak mengerjakan qunut Shubuh. Dan ketika ditanya: “Mengapa demikian?” Beliau menjawab, “Tidak ada satu pun hadits yang shah tentang masalah qunut Shubuh!!”Lihat, Silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah wa al-Maudhu’ah, II:388.

4. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Tidak ada sama sekali petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan qunut Shubuh terus-menerus. Jumhur ulama berkata: “Tidaklah qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan demikian.” Lihat, Zaad al-Ma’aad, I:271 & 283, tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth

5. Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Qunut Shubuh tidak disyari’atkan kecuali bila ada nazilah (musibah) itu pun dilakukan di lima waktu shalat, dan bukan hanya di waktu shalat Shubuh. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq, mereka semua tidak melakukan qunut Shubuh.” Lihat, Fiqh as-Sunnah, I:167-168

Di sini akan kami kemukakan hadis-hadis yang dijadikan pegangan oleh mereka yang berpendapat qunut Shubuh itu sunnah atau bagian dari shalat, dan pendapat para ulama-ulama yang berpendapat sebaliknya karena hadis-hadis itu dianggap daif.

Hadis Pertama

Dari Anas bin Malik, ia berkata:

مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

“Rasulullah saw. senantiasa berqunut pada salat shubuh hingga beliau berpisah dari dunia (wafat).” H.r. Ahmad, al-Musnad, III:162; ‘Abdurrazzaq, al-Mushannaf, III:110; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, II:312; ath-Thahawi, Syarah Ma’an al-Atsar, I:244; ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:39; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:201; al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, III:124; Ibn al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah, I:441, No.753.

Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari jalan Abu Ja’far ar-Razi (yang telah menerima hadits ini) dari Rubaiyyi’ bin Anas, ia berkata, “Aku pernah duduk di sisi Anas bin Malik, lalu ada (seseorang) yang bertanya, ‘Apakah sesungguhnya Rasulullah saw, pernah qunut selama sebulan?’ Kemudian Anas bin Malik menjawab, ‘...(Seperti redaksi hadis di atas).

Keterangan: Hadis ini telah dinyatakan daif oleh para Ahli Hadis:

1. Imam Ibnu Turkamani yang memberikan ta’liq (ko-mentar) atas Sunan Baihaqi membantah pernyataan al-Baihaqi yang mengatakan hadits itu shahih. Ia berkata: “Bagaimana mungkin sanadnya shahih? Sedang perawi yang meriwayatkan dari Rubaiyyi’, yaitu Abu Ja’far ‘Isa Bin Mahan Ar-Razi, diperbincangkan oleh para Ahli Hadits. (Lihat, as-Sunan al-Kubra, I:202)

[1]. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam an-Nasa-i ber-kata, “Ia bukan orang yang kuat riwayatnya”. [2]. Imam Abu Zur’ah berkata, “Ia banyak salah”. [3]. Imam al-Fallas berkata, “Ia buruk hafalannya”. [4]. Imam Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia sering membawakan hadis-hadis munkar dari orang-orang yang masyhur” (Lihat, Mizan al-I’tidal, III:319, Tarikh Baghdad, XI:146, Tahdzib at-Tahdzib, XII:57)

2. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Abu Ja’far ini telah didaifkan oleh Imam Ahmad dan imam-imam yang lain… Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku, ‘Sanad hadits ini (hadits qunut Shubuh) sama dengan sanad hadits (yang ada dalam Mustadrak al-Hakim, II:323-324) tentang ma-salah Ruh yang diambil perjanjian dalam surat al-A’raf:172…Ibnul Qayyim berkata, “Maksud dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ialah bahwa Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan ar-Razi adalah orang yang sering membawakan hadis-hadis munkar. Yang tidak ada seorang pun dari Ahli Hadits yang berhujjah dengannya ketika dia menyendiri (dalam periwayatannya).” Saya katakan: “Dan di antara hadis-hadis itu ialah hadis qunut Shubuh terus-menerus.”(Lihat, Zaad al-Ma’aad, I:276)

3. Al-Hafizh Ibnu Katsir ad-Damsyqiy asy-Syafi’i dalam kitab tafsirnya juga menyatakan bahwa riwayat Abu Ja’far ar-Razi itu munkar.

4. Al-Hafizh az-Zaila’i dalam kitabnya Nashb ar-Raayah (II;132) sesudah membawakan hadits Anas di atas, ia berkata: “Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya at-Tahqiq dan al-‘Ilalul Muta-nahiyah, ia berkata: Hadits ini tidak sah, karena sesungguhnya Abu Ja’far ar-Razi, namanya adalah Isa bin Mahan, dinyatakan oleh Ibnul Madini: ‘Ia sering keliru.’”

5. Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata, “Hadis Anas munkar.” Lihat,Silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah, No. 1238.

Hadis Kedua

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَحْسِبُهُ قَالَ رَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ

Rasulullah saw. pernah qunut, begitu juga Abu bakar, Umar, Usman. dan saya (rawi) menyangka dan yang keempat berkata sampai saya berpisah dengan mereka”. H.r. ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, II:166-167 dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:201, Keduanya telah meriwayatkan hadits yang kedua ini dari jalan Isma’il bin Muslim al-Makki dan Ibnu Ubaid (yang keduanya telah terima hadits ini ) dari al-Hasan al-Bashri (yang telah terima hadits ini) dari Anas (bin Malik).

Penjelasan para ahlis hadis tentang rawi hadis diatas

1. Isma’il bin Muslim al-Makki, ia adalah seorang yang lemah haditsnya. Abu Zur’ah berkata, “Ia adalah seorang perawi yang lemah.” Imam Ahmad dan yang lainnya berkata, “Ia adalah seorang munkarul hadits.”Imam an-Nasa-i dan yang lainnya berkata, “Ia seorang perawi yang matruk (seorang perawi yang ditinggalkan atau tidak dipakai, karena tertuduh dusta).”Imam Ibnul Madini berkata, “Tidak boleh ditulis haditsnya ...". Lihat, Mizan al-I'tidal, I:248 No. 945, Taqrib at-Tahdzib, I:99 No. 485.

2. Amr bin Ubaid bin Bab (Abu ‘Utsman al-Bashri), adalah seorang Mu’tazilah yang selalu mengajak manusia untuk berbuat bid’ah. Imam Ibnu Ma’in berkata, “Tidak boleh ditulis haditsnya.”Imam an-Nasa-i berkata: “Ia matrukul hadits.”Lihat, Mizan al-I'tidal III:273 No. 6404, Taqrib at-Tahdzib, I:740 No. 5087.

3. Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri, namanya yang sudah masyhur adalah Hasan al-Bashri. Al-Hafizh adz-Dzahabi dan al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ia adalah seorang Tabi’in dan seorang yang mempunyai keutamaan, akan tetapi ia banyak me-mursal-kan hadits dan sering melakukan tadlis. Dan dalam hadits di atas, ia memakai sighat ‘an (dari)” Lihat, Mizan al-I’tidal, I:527, Tahdzib at-Tahdzib, II:231, Taqrib at-Tahdzib, I:202 No. 1231.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa hadis yang kedua di atas itu derajatnya dha’ifun jiddan (sangat lemah), sehingga hadis tersebut tidak dapat dijadikan penguat (syahid) bagi hadis Anas di atas. Dan sekaligus juga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

Qunut Pada Salat Witir

Sepanjang pengetahuan kami, hadis tentang qunut pada salat witir diriwayatkan dari beberapa orang sahabat; Al-Hasan bin Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abu Thalib

Hadis qunut pada salat witir dari sahabat Al-Hasan bin Ali diriwayatkan melalui beberapa jalan dengan redaksi yang agak berbeda.

A. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Daud, Al-Baghawi, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim melalui rawi Abu Ishaq as-Sabi’i, dari Buraid bin Abu Maryam, dari Abu Al-Haura, dengan redaksi sebagai berikut:

قَالَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ رضى الله عنهما عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِى الْوِتْرِ قَالَ ابْنُ جَوَّاسٍ فِى قُنُوتِ الْوِتْرِ « اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ ».

Al-Hasan bin Ali berkata, “Rasulullah saw. Telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir. Kata Ibnu Jawwas dengan lafal “pada qunut witir”: Allaahummah dinii fiiman hadaita.. (lihat, Sunan At-Tirmidzi, II:328, Sunan Abu Daud, I:329, Syarh as-Sunnah, III:172, al-Mu’jam al-Kabir, III:73 hadis No. 2701, 2702, 2703, 2706, 2707, 2713, Al-Mustadrak, III:173)

B. Diriwayatkan oleh An-Nasai (Sunan An-Nasai, III:275) melalui rawi-rawi yang sama dengan di atas, dengan redaksi

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ فِي الْقُنُوتِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thabrani dengan lafazh فى قنوت الوتر (lihat, Sunan Ibnu Majah, II:49-50; Musnad Ahmad I:200;Sunan Ad-Darimi, I:373; Al-Mu’jam al-Kabir, III:74 hadis No. 2705, 2712)

C. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani (Al-Mu’jam al-Kabir, III:72 hadis No. 2700 ) melalui rawi Hisyam bin Urwah, dari Aisyah, dari Al-Hasan bin Ali, dengan redaksi

عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُعَاءَ الْقُنُوْتِ فِى الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ

D. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq (Al-Mushannaf III:117) melalui rawi Al-Hasan bin Umarah, dari Buraid bin Abu Maryam, dari Abu al-Haura, dengan lafazh

وَعَلَّمَنِي كَلِمَاتٍ أَدْعُوْ بِهِنَّ فِي آخِرِ الْقُنُوْتِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي ، وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ

E. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la (Musnad Abu Ya’la XII:127, No. 6759) melalui rawi Syu’bah, dari Ibnu Abi Maryam, dengan redaksi

قال ابن أبي مريم: سمعت السعدي يقول. قلت للحسن ما تحفظ من رسوالله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: سمعته يدعو فى هذا الدعاء اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ...

F. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani (Al-Kabir III:75 hadis No. 2708) melalui rawi Al-Hasan bin Ubaidillah, dari Ibnu Abi Maryam, dari Abu Al-Haura, dengan lafazh

قلت للحسن بن علي ... وعقلت عنه الصلوات الخمس وكلما أقولهن عند انقضائهن قال اللهم اهدني فيمن هديت ...

G. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra, III:38, No. 5055) dan Al-Hakim (al-Mustadrak, III:188, No. 4800) melalui rawi Hisyam bin Urwah, dari Urwah, dari Aisyah, dengan redaksi

عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى وِتْرِى إِذَا رَفَعْتُ رَأْسِى وَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ السُّجُودُ :« اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِى فِيمَا آتَيْتَ ، وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ - المستدرك على

Sedangkan hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni melalui rawi Alqamah dengan redaksi

بِتُّ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- لأَنْظُرَ كَيْفَ يَقْنُتُ فِى وِتْرِهِ ، فَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ

“Aku bermalam bersama Nabi saw. Aku benar-benar melihat bagaimana beliau qunut pada witirnya. Beliau qunut sebelum ruku’.” Lihat, as-Sunan al-Kubra, III:41, No. 5060 dan Sunan Ad-Daraquthni II:32, No. 4.

Demikian pula diriwayatkan Ad-Daraquthni melalui rawi Suwaid bin Ghaflah dari sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dengan redaksi

عَنْ سُوَيْد بْنِ غَفَلَةَ، قَالَ سَمِعْت أَبَا بَكْرٍ. وَعُمَرَ. وَعُثْمَانَ. وَعَلِيًّا، يَقُولُونَ: قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ الْوِتْرِ، وَكَانُوا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ

Dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Aku mendengar Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali mereka berkata, ‘Rasulullah saw. qunut di akhir witir’. Dan mereka pun melakukan hal itu”. Lihat, Sunan Ad-Daraquthni, II:22

Hadis yang semakna diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah II:5) melalui rawi Said bin Abdurrahman bin Abza, dari sahabat Ubay bin ka’ab.

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, sebagian ulama menetapkan adanya doa qunut pada salat witir.
Facebook Twitter Google+
Back To Top